BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Topik yang dibahas dalam sesi ini adalah “Reformasi
Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”. Topik tersebut rasanya
memiliki konotasi bahwa birokrasi merupakan faktor atau pun aktor utama
baik dalam terjadinya KKN maupun dalam upaya pencegahan ataupun
pemberantasan KKN; meskipun kita mengetahui bahwa masalah KKN bukan
hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi juga berjangkit
dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-lembaga
dalam masyarakat pada umumnya.
Dalam hubungan “reformasi birokrasi” ini
sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi masalah KKN dalam
lingkup “urusan-urusan publik yang diltangani birokrasi”; namun secara
aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam
masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan.
Dalam hubungan “interaksi dengan publik
utamanya dalam pelayanan publik” itulah KKN bisa berkembang pada kedua
pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan
jenjang yang panjang dan menyeluruh. Sebab itu, usaha pemberantasan KKN
perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan dalam rangka
“reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan.
Dalam hubungan itu, agenda utama yang perlu ditempuh
adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang
sasaran pokoknya adalah : terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang
profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki
kredibilitas, bersih dan bebas KKN; peka dan tanggap terhadap segenap
kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara; berkembangnya
budaya dan perilaku birokrasi yang didasari etika, semangat pelayanan dan
pertanggung jawaban publik, serta integritas pengabdian dalam mengemban
misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Dalam
hubungan itu, dari sudut disiplin dan sistem administrasi negara good governance
dapat dipandang merupakan paradigma yang antara lain berisikan konsep yang
mencakup 3 (tiga) aktor utama, yaitu pemerintahan negara dimana
birokrasi termasuk di dalamnya, dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha
negara), dan masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan
negara dan pembangunan bangsa tersebut memiliki posisi, peran, tanggung
jawab, dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang
dinamis dan berkelanjutan.
Dalam
konsep good governance ketiga aktor dalam sistem administrasi negara
tersebut ditempatkan sebagai mitra yang setara. Tindak pidana korupsi
telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu
penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan
memundurkan pembangunan , serta memudarkan masa depan bangsa.
Dalam
hubungan itu, KKN tidah hanya mengandung pengertian penyalahgunaan
kekuasaan ataupun kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan
aset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan
depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja, atau pun terpaksa. Berbagai
fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut
menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku kekuasaan dan
birokrasi yang melakukan penyimpangan.
Yuridis Formal
Berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan
korupsi adalah antara lain Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsmen
Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim
Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; PP
Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
PP Nomor
274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah; dan Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 yang intinya menumbuhkan kesadaran bahwa tertib
sosial, ketenangan dan ketentraman hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan
ketaatan pada hukum dan berpihak pada keadilan.
Selain itu
untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang diperbaharui dengan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini secara tegas menuangkan
keinginan untuk memberantas praktik korupsi; antara lain dengan dimuatnya
secara lebih tegas tentang unsur suap, dan juga tentang tindak pidana suap lain
yang disebut sebagai gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan
tugas.
Dengan
pencantuman gratifikasi tersebut, makin jelas bahwa berbagai fasilitas yang
selama ini diragukan sebagai suatu pelanggaran atau penyelewengan menjadi
jelas, yaitu semua itu termasuk kategori suap yang dapat diusut.
Data / Fakta
Dibandingkan
dengan kondisi di berbagai negara lainnya, antara lain seperti hasil penelitian
PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000) yang menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan
skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme diantara negara-negara Asia;
dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang
terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan
Indonesia
pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang
sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga
terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai
termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 ( yaitu kisaran
skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk ) yang berarti jauh dibawah
rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia.
Terpuruknya
Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House Cooper
( 2001 ) tentang
ranking negara-negara Asia dalam implementasi
good governance. Indonesia
menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi
competitiveness Indonesia
menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan
kepada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyakit yang
kronis dan sulit disembuhkan; korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik:
sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan
negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila
korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang
dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur
manakala korupsi tersebut dihilangkan.
BAB II
PEMECAHAN
MASALAH
Berbagai fenomena di atas mengungkapkan
perlunya pelaksanaan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan sistimatis
sebagai bagian dari pembangunan Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia ( SANKRI ).
Hal – hal yang perlu dilakukan adalah :
1. Penataan Organisasi dan Tata Kerja.
Penataan
organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi,
sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang
terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi dengan tugas dan
tanggung jawab yang jelas, ramping, desentralistik, efisien, efektif,
berpertanggung jawaban, terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan jelas satu,
sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional dalam SANKRI. Seiring dengan
itu, penyederhanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur, serta
antara aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha berorientasi pada kriteria
dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima
(peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan); peningkatan kesejahteraan sosial
dalam arti luas; serta peningkatan kreativitas, otoaktivitas, dan produktivitas
nasional.
2. Pemantapan Sistem Manajemen.
Dengan makin
meningkatnyadinamika masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan kegiatan pembangunan,
pengembangan sistem manajemen pemerintahan perlu diprioritaskan pada
revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan
publik yang berkepastian hukum, kondusif, transparan, dan akuntabel, disertai
dukungan sistem informatika yang terarah pada pengembangan e-administration
atau e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan
sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagitumbuh dan
berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi dan
produktivitas masyarakat dan dunia usaha di seluruh wilayah negara. Dengan
demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi bagian dari masyarakat yang
terus belajar (learning community), mengacu pada terwujudnya masyarakat
maju, mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi.
3. Peningkatan Kompetensi SDM, Aparatur
Sosok birokrat
– ataupun SDM aparatur (pegawai negeri) pada umumnya penampilannya harus profesional
sekaligus taat hukum, netral, rasional, demokratik, inovatif, mandiri, memiliki
integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme aparatur
harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan
terlembagakannya karakteristik sebagai berikut:
(a) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara,
(b)
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan
pelayanan
dan kebijakan publik,
(c)
berkemampuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif dan inovatif,
(d) taat
asas, dan disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional,
(e)
memiliiki daya tanggap dan sikap bertanggung jawab (akuntabilitas),
(f) memiliki jati diri sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat, serta bangga terhadap profesinya sebagai pegawai negeri,
(g) memiliki
derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan
melaksanakan
berbagai keputusan sesuai kewenangan,
(h) memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan
produktivitas. Selain itu perlu pula diperhatikan reward system yang
kondusi (baik dalam bentuk gaji maupun perkembangan karier yang didasarkan atas
sistem merit; serta finalty system yang bersifat preventif dan repressif.
Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negara
juga perlu mengacu pada standar kompetensi internasional (world class).
BAB III
PENUTUP
Reformasi
birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi
negara. Dalam konteks SANKRI, reformasi administrasi negara dan birokrasi di
dalamnya pada hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang
terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan
jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna,
berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan
dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan
prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia aparatur negara
(pejabat politik, dan
karier) yang
memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip
tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun yudikatif.
Selain dari
unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good governance
dibutuhkan juga
komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan
masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik,
juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi.
Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan perilaku yang sesuai dengan
dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum yang efektif” (effective
law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan
pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan
berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN. Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi
pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public
servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk
melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku
yang mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan
mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama
dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan
pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah.
Untuk
memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada
hasil. Di sinilah peran akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota
organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai
kemajuan dalam mewujudkan citacita dan tujuan NKRI. Selanjutnya, diperlukan
sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi
administrasi negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan
pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada
kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa.
Dalam
rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem
peradilan dan sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi
dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda
dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi kepada pelakunya (law
enforcement). Di samping itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat
agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang
merupakan musuh publik. Pers sebagai
kontrol sosial
harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap dan memberitakan
tindak korupsi.
Pengembangan
budaya malu harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu
dalam dirinya (quilty feeling). Akhirnya satu kondisi dasar untuk
pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dan menegakkan hukum
tanpa campur tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik
kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi
akan dapat menjadi syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan
dan sistem peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan
yang efektif.
|
Sabtu, 12 Juli 2014
Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas saran dan komentarnya