Sabtu, 12 Juli 2014

Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN


 BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
          Topik yang dibahas dalam sesi ini adalah “Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”. Topik tersebut rasanya memiliki konotasi bahwa birokrasi merupakan faktor atau pun aktor utama baik dalam terjadinya KKN maupun dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan KKN; meskipun kita mengetahui bahwa masalah KKN bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi juga berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya.
Dalam hubungan “reformasi birokrasi” ini sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi masalah KKN dalam lingkup “urusan-urusan publik yang diltangani birokrasi”; namun secara aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan.
Dalam hubungan “interaksi dengan publik utamanya dalam pelayanan publik” itulah KKN bisa berkembang pada kedua pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan jenjang yang panjang dan menyeluruh. Sebab itu, usaha pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan dalam rangka “reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan.
Dalam hubungan itu, agenda utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah : terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN; peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara; berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari etika, semangat pelayanan dan pertanggung jawaban publik, serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Dalam hubungan itu, dari sudut disiplin dan sistem administrasi negara good governance dapat dipandang merupakan paradigma yang antara lain berisikan konsep yang mencakup 3 (tiga) aktor utama, yaitu pemerintahan negara dimana birokrasi termasuk di dalamnya, dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara), dan masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tersebut memiliki posisi, peran, tanggung jawab, dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang dinamis dan berkelanjutan.
Dalam konsep good governance ketiga aktor dalam sistem administrasi negara tersebut ditempatkan sebagai mitra yang setara. Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan , serta memudarkan masa depan bangsa.
Dalam hubungan itu, KKN tidah hanya mengandung pengertian penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan aset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja, atau pun terpaksa. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan.
Yuridis Formal
Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi adalah antara lain Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; PP Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
PP Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 yang intinya menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan ketentraman hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan pada hukum dan berpihak pada keadilan.
Selain itu untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbaharui dengan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini secara tegas menuangkan keinginan untuk memberantas praktik korupsi; antara lain dengan dimuatnya secara lebih tegas tentang unsur suap, dan juga tentang tindak pidana suap lain yang disebut sebagai gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan tugas.
Dengan pencantuman gratifikasi tersebut, makin jelas bahwa berbagai fasilitas yang selama ini diragukan sebagai suatu pelanggaran atau penyelewengan menjadi jelas, yaitu semua itu termasuk kategori suap yang dapat diusut.
Data / Fakta
Dibandingkan dengan kondisi di berbagai negara lainnya, antara lain seperti hasil penelitian PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme diantara negara-negara Asia; dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan
Indonesia pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 ( yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk ) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia.
Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House Cooper
( 2001 ) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti




1.2  Perumusan Masalah
            Berdasarkan kepada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan; korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik: sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.
                                                                  BAB II
PEMECAHAN MASALAH
Berbagai fenomena di atas mengungkapkan perlunya pelaksanaan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan sistimatis sebagai bagian dari pembangunan Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia ( SANKRI ).
Hal – hal yang perlu dilakukan adalah :
 1.  Penataan Organisasi dan Tata Kerja.
Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas, ramping, desentralistik, efisien, efektif, berpertanggung jawaban, terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan jelas satu, sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional dalam SANKRI. Seiring dengan itu, penyederhanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur, serta antara aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha berorientasi pada kriteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima (peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan); peningkatan kesejahteraan sosial dalam arti luas; serta peningkatan kreativitas, otoaktivitas, dan produktivitas nasional.
2.    Pemantapan Sistem Manajemen.
Dengan makin meningkatnyadinamika masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan kegiatan pembangunan, pengembangan sistem manajemen pemerintahan perlu diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang berkepastian hukum, kondusif, transparan, dan akuntabel, disertai dukungan sistem informatika yang terarah pada pengembangan e-administration atau e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagitumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi dan produktivitas masyarakat dan dunia usaha di seluruh wilayah negara. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi bagian dari masyarakat yang terus belajar (learning community), mengacu pada terwujudnya masyarakat maju, mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi.


3.    Peningkatan Kompetensi SDM, Aparatur
Sosok birokrat – ataupun SDM aparatur (pegawai negeri) pada umumnya penampilannya harus profesional sekaligus taat hukum, netral, rasional, demokratik, inovatif, mandiri, memiliki integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berikut:
(a) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara,
(b) memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan
pelayanan dan kebijakan publik,
(c) berkemampuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif dan inovatif,
(d) taat asas, dan disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional,
(e) memiliiki daya tanggap dan sikap bertanggung jawab (akuntabilitas),
(f) memiliki jati diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, serta bangga terhadap profesinya sebagai pegawai negeri,
(g) memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan
melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan,
(h) memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas. Selain itu perlu pula diperhatikan reward system yang kondusi (baik dalam bentuk gaji maupun perkembangan karier yang didasarkan atas sistem merit; serta finalty system yang bersifat preventif dan repressif. Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negara juga perlu mengacu pada standar kompetensi internasional (world class).







 BAB III
    PENUTUP

Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi negara. Dalam konteks SANKRI, reformasi administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan
karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun yudikatif.
Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good governance
dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum yang efektif” (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN. Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah.
Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemajuan dalam mewujudkan citacita dan tujuan NKRI. Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa.
Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi kepada pelakunya (law enforcement). Di samping itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang merupakan musuh publik. Pers sebagai
kontrol sosial harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap dan memberitakan tindak korupsi.
Pengembangan budaya malu harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling). Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas saran dan komentarnya